Oleh : Ode Riswanto, S.HI
Alumni Mahasiswa STAIN Al-Fatah Jayapura
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan
seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini
pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan
belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan
dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau
sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau
sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang
individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal
karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang
kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan
mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan
bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu
“Al-Ghazali”.
B.
Rumusan Maslah
Adapun
rumusan maslah yang diangkat dalam makalah ini yaitu:
1. Siapakah Al-Ghazali itu?
2. Bagaimanakah pemikiran Al-Ghazali
tentang pendidikan?
3. Apasajakah karya-karya Al-Ghazali ?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dalam pembuatan makalah ini:
1. Melaksanakan tugas dari dosen
matakuliah filsafat pendidikan islam
2. Agar mengenal jauh tentang
Al-Ghajali dengan berbagai pemikiranya untuk kemajuan berfikir mahasiswa
tarbiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa
Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang
pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin),
samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan
perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai
serangan.[1]
Al-Ghazali
adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam
satu sistem.[2] Ia
belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah
ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur
yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di
Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan
ilmu kalam.
Pada tahun
478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad
untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia
meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun
1111 M.[3]
Faham yang
dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut
dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui
rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia
ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ
عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ
الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya
ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan
wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan
hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan
bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan
kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa
itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan
dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.[5]
Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh
dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di
ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki,
kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya
tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.[6]
Sebelum
ayahnya Al-Ghozali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang
diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Al-Ghozali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat
kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan
menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.
Setelah
harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu
untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam
kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke
madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka
untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk
kelangsungan hidup mereka
Bersama saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Bersama saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam
madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut)
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari
tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghozali
memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam
Haromain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghozali
mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain:
filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu
Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat
menyelami paham-paham Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran
Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak
membekas pada pendidikan Al-Ghozali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas
murid Al-Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam
mengajar tasawuf kepada Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain
seperti masehi”.
Dan pada
tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah
Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di
Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.
B.
Pemikiran Tentang Pendidikan
Al-Ghazali
adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran
dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah
keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya
termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan
karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan
di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh
karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan
yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses
pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7]
Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada
tujuan yang jelas.
Mengingat
pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang
tujuan pendidikan, yaitu :
- Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
- Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
- Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
- Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
- Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak
dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa
pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam
prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran
manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal
pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang
menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut
sebagai subyek pendidikan.[8]
Oleh
karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat
mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini
berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu
berkedudukan sebagai murid.
Manusia
adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia,
maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya
pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada
murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti,
memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai
pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[9]
Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut
al-Ghazali yaitu :
1.
Metode
khusus pendidikan agama
Menurut
al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil
dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2.
Metode
khusus pendidikan ahklak
Akhlak
menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang
melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih
dahulu.[10]
Dengan
adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus
mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an
sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan
akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C.
Karya-Karya
al-Ghazali
1.
Di
Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu
filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan
ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu
pengetahuan yang rasional)
2.
Di
Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan
ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas
dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi
Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3.
Dalam
Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia
yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan
pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk
kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita
simak.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Dia
adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul
Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq),
dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta
hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan
ajaran agama dari berbagai serangan.
2 .
Dari
uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses
memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi
khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu
mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akherat, dan hidup yang berpedoman
al-Qur’an dan Hadits.
3.
Imam
Al-Ghazali memiliki banyak karangan yang dipakai dalam hal pengeaguan
pendidikan, dan beliau merupaka salah satu guru besar dalam ilmu pengetahuan.
1.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran
al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat
dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,
juz III, Masyhadul Husaini, tt.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran
Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina
Utama, Semarang, cet I, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah
Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT.
Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Hamka,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet
XI, 1984, hlm.181
[6]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.
[7] Abidin
Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet
I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[9]
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan
Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang,
cet I, 1993, hlm. 18.
[10]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul
Husaini, tt, hlm. 109.
[11] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,
Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993, hlm. 55-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar