PELITA JAYA

PELITA JAYA

Rabu, 07 November 2012

MAKALAH PENDIDIKAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI




Oleh : Ode Riswanto, S.HI
Alumni Mahasiswa STAIN Al-Fatah Jayapura



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “Al-Ghazali”.

B.     Rumusan Maslah
Adapun rumusan maslah yang diangkat dalam makalah ini yaitu:
1.      Siapakah Al-Ghazali itu?
2.      Bagaimanakah pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan?
3.      Apasajakah karya-karya Al-Ghazali ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini:
1.      Melaksanakan tugas dari dosen matakuliah filsafat pendidikan islam
2.      Agar mengenal jauh tentang Al-Ghajali dengan berbagai pemikiranya untuk kemajuan berfikir mahasiswa tarbiyah.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sekilas Tentang Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]

Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem.[2] Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.

Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.[3]
Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.

Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.[5] Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[6]

Sebelum ayahnya Al-Ghozali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Ghozali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.

Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup mereka
Bersama saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.

Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghozali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam Haromain.

Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghozali mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat menyelami paham-paham Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan Al-Ghozali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.

Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.

B.     Pemikiran Tentang Pendidikan

Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.

Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
  1.  Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 
  2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
  3. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
  4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
  5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
 Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[8]

Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.

Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[9] Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
           1.      Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
           2.      Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[10]

Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
            1.      Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
            2.      Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

C.    Karya-Karya al-Ghazali

            1.      Di Bidang Filsafat
a.       Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b.       Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c.       Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)


            2.      Di Bidang Agama
a.       Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b.      Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c.       Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d.      Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.

            3.      Dalam Bidang Kenegaraan
a.       Mustazh – hiri
b.      Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c.       Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d.      Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.[11]



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

     1.      Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.

      2 .      Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akherat, dan hidup yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits.

     3.      Imam Al-Ghazali memiliki banyak karangan yang dipakai dalam hal pengeaguan pendidikan, dan beliau merupaka salah satu guru besar dalam ilmu pengetahuan.
1.       
 


DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.


[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm.181
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.

[7] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[8] Ibid, hlm. 94.
[9] Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[10] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[11] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993, hlm. 55-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar