Oleh: Ode Riswanto
Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah
negeri Muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam
(Mekkah). Islam pun baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Namun, dunia
internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini oleh beberapa ahli dianggap
sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Termasuk di antaranya adalah madrasah.
Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi
madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah
mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun
“penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat
dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya
perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru.
Meskipun demikian, stakeholders madrasah tidak
pernah putus asa. Hal ini dapat terlihat dari eksistensi madrasah yang sejak
dulu sampai sekarang masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa
terus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa
berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan
memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan
saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam
pengembangan peradaban manusianya.
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU
Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang
mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Eksistensi
Madrasah di Era Global
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah
merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa,
yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar kata tersebut kemudian berkembang
menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang
bernuansa agama Islam.[1]
Menurut sejarahnya, madrasah sebagai lembaga
pendidikan tidaklah berasal dari ruang hampa, tetapi kemunculannya merupakan
“sambungan” dari sejarah-sejarah awal munculnya Islam yang benih-benihnya sudah
ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan adanya kuttab, , halaqah, suffah
atau al zilla. Namun demikian, istilah madrasah muncul pertama
kali ketika Nidhamul Mulk dari Bani Saljuk mendirikan Madrasah Nidhamiyah
pada tahun 1064 M. Dengan munculnya madrasah nidzamiyah tersebut
kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain.[2]
Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa madrasah
nidzamiyyah ini hanyalah kemunculan istilah madrasah dalam sejarah
pendidikan Islam lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari
pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan
mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi (state
institutions).
Jika ditelusuri sejarah pendidikan di Indonesia,
khususnya pendidikan islam, nama madrasah itu sendiri munculnya agak
belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dulu digunakan masyarakat
Islam di Nusantara, diantaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai
tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan lain, termasuk di dalamnya
aktivitas pendidikan.[3]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia
relatif lebih muda bila dibandingkan dengan pesantren. Ia lahir pada abad
ke-20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul ‘Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905
dan sekolah Adabiyyah yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad di Sumatera
Barat tahun 1909. madrasah ini berdiri atas inisiatif dan realisasi dari
pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut,
menurut Karel Steenbrink, meliputi tiga hal, yaitu:
a.
Usaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,
b.
Penyesuaian
dengan sistem pendidikan Barat, dan
c.
Upaya
menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dengan sistem
pendidikan Barat.[4]
Meskipun usaha pembaharuan sudah diupayakan, namun
permasalahan di dalam tubuh madrasah bukannya semakin ringan dan sedikit. Hal
ini bisa dilihat pada model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan
negara yang memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme ini
telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme
ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada
keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara
ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan
ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justeru menjadi garapan
bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.[5]
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang
berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan
kondisi sarana dan prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan
akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan madrasah sebagai
“sapi perah”, madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki
oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpukan bagi manusia
modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan
diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela
seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan
model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan
dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang
asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan
pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah
mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan
metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh, jorok,
ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit
demi sedikit juga semakin terkikis.[6]
Satu lagi yang menarik dari madrasah adalah pengembangan
madrasah tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga dengan
peningkatan kualitas yang cukup signifikan. Manajemen profesional telah menjadi
andalan. Pembagian kewenangan antara spritualis (kyai) dan manajer administratif
mendukung terciptanya suasana kerja yang harmonis. Keberadaan madrasah di
pusat-pusat kota juga banyak yang tampil dengan inovasi baru. Hal ini bukan
saja telah membuat masyarakat tidak alergi lagi dengan menyebut nama madrasah,
tetapi juga dapat diartikan sebagai naiknya prestise madrasah.[7]
[1] Nurul Huda,
“Madrasah; Sebuah Perjalanan untuk Eksis” dalam Ismail SM, et.al. (Ed.),
Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm.
211
[4] Raharjo
“Madrasah Sebagai The Centre of Excellence” dalam Ibid., hlm. 226